Secangkir Rindu
Usai hujan luruh di senja kelabu
langit menggigil, menyimpan rindu
Aku sendiri, di dapur sempit kita dulu
Tempat tawa dan kopi bersatu.
Ayah,
Kursi kayu itu kosong sejak kau pergi
Namun denting sendok masih mengabari
Seolah suaramu menyelinap sunyi
Bersama aroma kopi yang tak mau mati.
Kau suka menggoda soal gula berlebih
Padahal itu caramu sembunyikan letih.
Kita tertawa, kadang tak tahu sebab
Karena denganmu, luka pun terasa segar menguap.
Kini kopi kutuang manis berlapis
Namum pahitnya tak bisa kutepis.
Yang hilang bukan rasa, tapi dirimu
Yang dulu menghangatkan ruang waktu.
Dapur ini sunyi, tapi ramai kenangan
Bercerita tanpa suara, penuh harapan yang perlahan.
Segala yang kita bagi jadi gema samar
Yang menetap di hati, makin bergetar.
Ayah,
Rinduku tak cukup digambarkan kata
Tak cukup ditampung hujan yang tumpah di jendela.
Andai waktu bisa kembali membalik arah
Ingin kupinta secangkir tawa, walau hanya sebatas sejenak indah.
Satu kopi terakhir
Satu sore yang tak berakhir
Di dapur yang dulu rumah
Kini jadi saksi cinta yang tak pernah lelah.
Sudut Dapur, 14 Mei 2025
Writer|| Stanislaus Bandut
%20(1).png)