Gambar oleh Akbar Nemati dari Pixabay
Opini, bokstoday.my.id|| Di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, semangat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi merupakan salah satu bentuk kesadaran kolektif yang patut dibanggakan.
Di tengah segala keterbatasan akses jalan yang sulit, ekonomi yang belum stabil, serta minimnya fasilitas pendidikan para orang tua tetap berjuang agar anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Mereka percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Namun, semangat luhur ini kini berhadapan dengan kenyataan yang getir. Gelar sarjana yang dulu dianggap sebagai tiket menuju kehidupan yang lebih baik, kini justru menjadi beban.
Baca Juga: Keren! SMP Negeri 3 Pacar Kembali Rilis Buku Antologi Puisi Ketiga Berjudul Apa Salahku
Ribuan lulusan perguruan tinggi asal Manggarai kembali ke kampung halaman tanpa pekerjaan. Mereka menggenggam ijazah, tetapi tidak tahu harus melangkah ke mana. Tidak sedikit yang kembali bertani, menjadi buruh kasar, atau membuka usaha kecil-kecilan yang jauh dari latar pendidikan mereka. Ada pula yang akhirnya memutuskan merantau ke luar daerah untuk mencari rejeki diatanah orang. Pendidikan tinggi, yang mestinya membuka pintu kemajuan, justru menyisakan kekecewaan.
Fenomena ini bukan hanya soal kurangnya lapangan kerja. Ia mencerminkan sebuah ketimpangan struktural, antara semangat masyarakat yang tinggi dalam mengejar pendidikan, dan sistem pembangunan daerah yang belum mampu menyediakan ruang aktualisasi bagi lulusan-lulusan itu.
Di Manggarai, Ekonomi lokal masih sangat bergantung pada pertanian tradisional dan pasar kecil yang terbatas. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan daerah, justru menjadi bagian dari statistik pengangguran terdidik.
Lebih dari itu, sistem pendidikan sendiri belum cukup responsif terhadap kebutuhan daerah. Kurikulum masih berorientasi pada teori dan akademik semata, tanpa keterampilan praktis yang sesuai dengan realitas lokal.
Kampus-kampus menghasilkan sarjana, tetapi tidak menyiapkan mereka untuk menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya terutama dalam konteks daerah seperti Manggarai, yang membutuhkan inovasi di bidang pertanian, pariwisata, wirausaha, dan pengelolaan sumber daya lokal.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah kita telah membangun sistem pendidikan yang relevan? Apakah para lulusan disiapkan untuk membangun daerahnya, atau hanya untuk mengejar gelar? Dan lebih penting lagi, apakah pemerintah daerah telah hadir secara nyata untuk menjembatani antara dunia pendidikan dan dunia kerja?
Pemerintah daerah perlu menjadikan masalah ini sebagai agenda prioritas. Pendidikan tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa didukung oleh pembangunan ekonomi yang memadai.
Sudah saatnya perencanaan pembangunan dilakukan secara terpadu, menyatukan sektor pendidikan, ekonomi, dan ketenagakerjaan. Daerah perlu membuka ruang bagi tumbuhnya sektor industri kreatif, dan lapangan kerja berbasis potensi lokal. Selain itu, pendidikan vokasi harus diperkuat. Generasi muda tidak cukup hanya dibekali gelar, tetapi juga keterampilan yang relevan dan daya saing yang nyata.
Manggarai memiliki modal besa, generasi muda yang cerdas, pekerja keras, dan penuh semangat. Mereka hanya butuh ruang. Mereka hanya butuh kesempatan. Ijazah bukan sekadar kertas, ia adalah simbol dari harapan, pengorbanan orang tua, dan mimpi panjang akan kehidupan yang lebih baik. Jangan biarkan harapan itu menjadi abu di tengah ketidakpastian.
Pendidikan akan kehilangan maknanya jika tidak diikuti dengan kebijakan yang mampu memberdayakan. Maka, sudah waktunya semua pihak pemerintah, lembaga pendidikan, dunia usaha, hingga masyarakat bersatu membangun jembatan antara dunia belajar dan dunia kerja. Karena hanya dengan itu, pendidikan benar-benar menjadi jalan pembebasan, bukan jalan buntu.
Writer|| Stanislaus Bandut|| Red