Opini, bokstoday.my.id|| Dalam dunia pendidikan nasional yang kompleks, kerap kali kita terlalu fokus pada sistem, kurikulum, dan teknologi, namun melupakan kekuatan kultural yang hidup di tengah masyarakat. Salah satu contoh kekuatan itu adalah tradisi Wuat Wa'i dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur sebuah tradisi yang tampak sederhana, namun menyimpan nilai-nilai luhur yang sangat relevan bagi dunia pendidikan kita hari ini.
Wuat wa'i melalui Pesta sekolah adalah tradisi yang dilakukan oleh keluarga ketika seorang anak hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Acara ini menjadi momen penting untuk mengundang keluarga besar, tetangga, dan masyarakat sekitar untuk hadir, sekaligus memberikan dukungan baik secara materiil dalam bentuk uang, beras, atau kebutuhan lainnya, maupun secara moril dengan doa dan restu.
Baca Juga: Sarjana Menganggur di Manggarai, Ketika Mimpi Pendidikan Tersendat di Dunia Kerja
Sebagai seorang pendidik yang berkecimpung di dunia pengajaran, saya melihat tradisi ini sebagai cerminan sejati dari filosofi pendidikan yang holistik bahwa mendidik seorang anak bukan hanya tanggung jawab keluarga inti, melainkan seluruh komunitas.
Dalam Wuat Wa’i, pendidikan diposisikan bukan sekadar sebagai urusan pribadi, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang. Masyarakat melihat keberangkatan seorang anak ke sekolah sebagai kemenangan kolektif. Mereka memberi sumbangan bukan karena berlebih, tetapi karena percaya bahwa ilmu adalah jalan keluar dari kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan. Keyakinan ini, bila diperkuat secara sistemik oleh kebijakan publik dan lembaga pendidikan, akan menjadi fondasi kuat bagi kemajuan bangsa.
Tradisi ini juga secara tidak langsung mengajarkan kepada anak-anak nilai-nilai penting dalam hidup rasa syukur, semangat berbagi, dan tanggung jawab sosial. Seorang anak yang disekolahkan lewat dukungan banyak pihak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan yang ia terima adalah amanah. Ia akan terdorong untuk kembali, mengabdi, dan memberi kontribusi bagi daerah asalnya.
Namun tentu, tantangan tetap ada. Seiring berjalannya waktu, dalam beberapa kasus, semangat asli Wuat Wa’i mulai tergeser oleh kepentingan sosial. Tradisi yang awalnya sarat makna solidaritas dan pendidikan, perlahan berubah menjadi semacam arisan di mana pesta diadakan lebih karena tuntutan sosial atau sebagai balas jasa atas sumbangan sebelumnya, bukan karena niat tulus mendukung anak untuk benar-benar menempuh pendidikan.
Ada keluarga tertentu yang tetap mengadakan Wuat Wa'i secara meriah meskipun anak yang dibekali ternyata tidak jadi berangkat kuliah, atau bahkan tidak memiliki rencana pendidikan yang jelas. Akibatnya, esensi Wuat Wa'i sebagai sarana gotong royong pendidikan menjadi kabur, dan masyarakat mulai mempertanyakan niat di balik tradisi itu. Ketika nilai gotong royong mulai ditumpangi oleh motif gengsi atau sekadar formalitas adat, maka kekuatan budaya itu justru berisiko melemah.
Di sinilah pentingnya peran aktif para tokoh adat, pendidik, dan pemuka masyarakat untuk terus menjaga dan mengarahkan tradisi ini agar tetap pada jalur semestinya. Perlu ada diskusi terbuka di tengah masyarakat agar Wuat Wa'i tidak kehilangan arah bahwa inti dari tradisi ini adalah membekali seseorang untuk berjalan jauh melalui pendidikan, bukan sekadar perayaan sosial atau kewajiban membalas budi.
Dengan penguatan nilai dan pemahaman bersama, tradisi Wuat Wa’i akan terus menjadi jembatan antara nilai-nilai lokal dan cita-cita pendidikan nasional. Tradisi ini akan tetap relevan jika terus diselaraskan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan akar filosofisnya.
Lebih jauh, di tengah arus globalisasi yang kerap menyingkirkan nilai-nilai lokal, Wuat Wa’i adalah pengingat bahwa jawaban atas tantangan pendidikan di Indonesia bisa ditemukan di akar budaya kita sendiri. Tradisi ini mengajarkan bahwa masa depan seorang anak bukan hanya ditentukan oleh berapa banyak uang yang dimiliki orang tuanya, tetapi juga oleh seberapa besar cinta dan harapan yang diberikan komunitas di sekitarnya.
Maka, mari kita jaga dan rawat tradisi seperti Wuat Wa’i. Sebab, dalam tradisi itu tersimpan pelajaran besar bahwa masa depan bangsa dimulai dari langkah kecil seorang anak menuju sekolah langkah yang didorong oleh cinta, gotong royong, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah cahaya.
Writer|| Stanilaus Bandut|| Red
