Dia menoleh ke arahku dengan tatapan penuh tanda tanya. Tiba-tiba air matanya keluar seakan sedang menanggung beban. Hatiku, terasa iba padanya.
"Kenapa engkau menangis, adakah sesuatu yang ingin engkau ceritakan?" bisikku pelan.
Ia menghela napas, menggigit bibir sejenak, lalu menjawab dengan suara serak.
"Aku, sedang menunggu seseorang yang mungkin tak akan pernah datang." balasnya.
Aku terdiam, merasa kalimat itu seperti sebilah pisau yang melayang di udara tak menyentuh, tapi mengancam.
"Siapa dia?" tanyaku lagi, setengah berharap bukan pria yang tengah bermain-main dengan perasaannya.
Ia menunduk, lalu mengeluarkan sepucuk surat dari dalam tas tangannya.
"Kau bacalah," katanya, menyodorkan kertas kusam yang telah lama disimpannya.
Tanganku gemetar saat membuka surat itu. Tulisan tangan di atas kertas itu tampak akrab. Sangat akrab.
Kata demi kata menampar logikaku. Surat itu Adalah surat yang aku tulis lima tahun lalu. Untuk seorang perempuan yang kutinggalkan tanpa pamit di stasiun yang sama ini, dengan janji yang kuingkari.
"Tunggu aku di bangku sebelah barat, lima tahun dari hari ini. Jika semesta mengizinkan, aku akan kembali." Bunyi surat yang kutulis lima tahun yang lalu.
Darahku seperti membeku.
"Ini tidak mungkin…" gumamku.
Dia menatapku, senyumnya kini penuh luka, namun tenang.
"Aku menepati janji kita. Kau hampir saja melupakanku sepenuhnya, bahkan saat duduk di sampingku."
Aku tercekat.
"Aku, tak mengenalmu tadi. Waktu telah mengubah segalanya kecuali satu hal, janjimu."
Ia bangkit dari kursi. Matanya sudah tak berlinang, sebaliknya memantulkan kepastian.
"Dan kini, tugas semestaku telah usai. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau masih hidup, dan masih memiliki hati."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
Perempuan itu hanya tersenyum.
Writer|| Stanislaus Bandut|| Red
