Malam itu, tatkala angin bertiup lembut dan langit menurunkan sunyinya, layar ponselku berkedip-kedip, menyampaikan pesan dari seseorang yang telah lama menempati relung hatiku.
“Di manakah engkau berada kini?” tulisnya.
“Mengapa tak jua engkau jawab pesanku?”
“Adakah hatimu mulai jemu akan hadirku?”
Hatiku terguncang. Sebuah kegelisahan menyeruak dari dalam dada. Aku pun menjawab dengan nada penuh tanya,
“Aku berada di apartemenku, Sharly. Adakah sesuatu yang hendak engkau sampaikan?”
Tak lama, jawabannya menyusul,
“Aku telah berdiri cukup lama di hadapan pintu kediamanmu.”
Segera aku bersiap, meski tangan ini bergetar. Kurekatkan hati, kubuka pintu itu. Dan di sanalah ia berdiri dengan gaun putih yang menyiratkan kesederhanaan namun memesona, wajahnya redup oleh kesedihan yang belum sempat terucap.
“Mengapa begitu lama engkau membukakan pintu?” tanyanya, suaranya menggigil dibungkus angin malam.
“Maafkan aku,Sharly. Aku tak menyangka kau akan benar-benar datang. Mari masuk, jangan biarkan malam menyaksikan kita bertikai,” sahutku sambil menyentuh lembut tangannya.
Kami pun duduk berdua di ruang yang senyap. Percakapan pun mengalir, seperti dua sungai rindu yang akhirnya bersatu.
Kala malam menjelma menjadi kelam, dan waktu menunjukkan tengah malam, kuberanikan diri berkata.
“Sharly, malam telah terlampau larut. Pulang dalam keadaan seperti ini bukanlah pilihan bijak. Tinggallah malam ini bersamaku. Hanya sekadar melepas lelah.”
Ia menatapku sejenak, kemudian menjawab dengan nada lembut.
“Bila itu tidak mengusik tenangmu, izinkan aku merebah sejenak di tempatmu.”
Hatiku berdebar. Aku pun berujar.
“Namun aku hanya memiliki satu selimut. Apakah engkau bersedia berbagi denganku?”
Ia mengangguk tenang,
“Selimut boleh satu, asal kehangatan yang dibagi bersumber dari keikhlasan, aku tak keberatan.”
Malam itu kami pun berbaring. Keheningan menjadi saksi atas segala ragu yang sirna, perlahan-lahan berganti dengan rasa.
“Mengapa tempatmu begitu dingin, Alensky?” bisiknya lirih.
“Mungkin karena engkau yang membawa sejuk, dan aku tak sanggup menghangatkan dengan kata-kata.”
Ia tersenyum tipis, kemudian berkata,
“Peluklah aku, agar malam ini tak lagi menggigilkan tubuhku.”
Kupeluk ia, bukan karena keberanian, melainkan karena ketulusan.
“Jangan lepaskan, biarlah aku tertidur dalam tenang.”
“Tak akan kulepas, walau pagi datang membawa cahaya yang harus memisahkan,” bisikku.
Namun ketika fajar mulai menyibak malam, dan sinar mentari menyelinap dari balik tirai tipis, aku terjaga dari tidur yang tak sepenuhnya lelap.
Tanganku meraba sisi ranjang yang semalam terisi hangat. Kosong. Tak ada Sharly.
“Sharly?” bisikku, pelan namun panik.
Kusisir setiap sudut ruang. Tak kutemukan bayangannya.
Lalu mataku tertumbuk pada cangkir teh yang masih menguap, dan selimut yang rapi kembali seperti semula. Di sisi meja, secarik kertas tertinggal, dengan goresan tangan yang kutahu benar itu miliknya.
“Jangan mencariku terlalu jauh, Alensky. Mungkin aku nyata, mungkin hanya sebait cerita yang sempat singgah cukupkan aku menjadi bagian dari malam yang akan selalu kau kenang dalam diam.”
Tanganku gemetar menggenggamnya. Aku menatap ke luar jendela, berharap melihat jejaknya. Tapi yang kulihat hanyalah langit pagi yang begitu bersih, seolah menutup segala kemungkinan.
Dan dalam sunyi itu, aku sadar. Entah ia datang dari dunia nyata atau dari sela mimpi yang terbentuk karena rindu yang pasti, malam itu aku pernah memeluk sesuatu yang takkan kembali.
Writer|| Stanislaus Bandut|| Red
