bokstoday.my.id-Opini|| Hari ini 17 Mei 2025, Indonesia kembali memperingati Hari Buku Nasional. Di berbagai daerah, pemerintah menggelar lomba membaca puisi, bazar buku, hingga kampanye "Ayo membaca" di media sosial. Tapi di tengah hingar-bingar itu, pertanyaan kritis seharusnya muncul: benarkah kita sedang merayakan buku? Atau hanya sedang memperingati kulit luar dari sesuatu yang sudah lama kita abaikan?
Saya jadi teringat kalimat sederhana yang pernah diucapkan dosen saya saat kuliah:
"Banyak baca, banyak tahu. Tidak baca, tidak tahu."
Kalimat itu terdengar seperti nasihat klasik yang biasa saja, tapi semakin hari maknanya terasa makin dalam. Ia menyadarkan saya bahwa membaca bukan hanya soal menambah wawasan, tapi juga membentuk cara berpikir. Tanpa membaca, kita mudah sekali ikut-ikutan, reaktif, dan percaya pada opini yang belum tentu benar. Membaca adalah fondasi berpikir jernih dan tanpa itu, kita hanya jadi gema, bukan suara.
Baca Juga :Pelajaran Hidup dari Detik-Detik Terakhir Ayah|| Kisah Sedih Dan Inspiratif
Masyarakat kita memang belum sepenuhnya menjadikan membaca sebagai kebiasaan hidup. Kita punya Hari Buku, tapi tidak punya budaya membaca yang mengakar. Buku dijadikan simbol, bukan kebutuhan.
Tahun 2025 ini, perayaan Hari Buku kembali berlangsung meriah. Tapi angka-angka tetap bicara jujur. Minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data UNESCO menunjukkan bahwa indeks membaca di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga. Ironisnya, di tengah gelombang digitalisasi dan kemudahan akses terhadap buku elektronik, justru yang meningkat adalah scrolling, bukan reading.
Kondisi ini bukan semata-mata karena "malas membaca", seperti sering didengungkan. Persoalannya lebih dalam, buku belum dianggap sebagai kebutuhan. Di rumah-rumah, rak buku sering digantikan oleh rak televisi. Di sekolah, membaca belum menjadi budaya, hanya kewajiban. Dan di ruang-ruang publik, buku kian terpinggirkan oleh konten instan.
Hari Buku Nasional semestinya bukan sekadar seremoni, tapi momentum koreksi. Jika kita ingin menciptakan bangsa pembaca, kita harus mulai dari yang paling dasar, menjadikan membaca sebagai gaya hidup. Bukan sekadar kegiatan di bulan Mei. Butuh kolaborasi lintas sektor, Pemerintah, Sekolah, Komunitas, dan Media untuk menanamkan cinta buku sejak dini, bukan dalam bentuk paksaan, tapi lewat keteladanan dan ruang yang menyenangkan.
Apalah arti Hari Buku jika generasi mudanya lebih mengenal influencer daripada Pramoedya, lebih hafal dialog sinetron daripada isi novel-novel penting tentang sejarah bangsanya sendiri? Buku memang masih dirayakan. Tapi membaca? Masih dilupakan.
Kesalahan kita sebagai bangsa adalah menganggap buku sebagai simbol, bukan sebagai kebutuhan. Maka tak heran, Hari Buku dirayakan dengan simbolik: potret tokoh literasi, bazar buku murah, atau potongan harga dari toko daring. Semua itu baik, tapi jika tidak diikuti dengan kerja nyata dan keberpihakan terhadap ekosistem membaca, hasilnya hanya euforia tahunan yang cepat padam.
Mari kita jujur, buku masih menjadi barang mewah bagi sebagian rakyat. Harga buku bacaan bermutu sulit dijangkau masyarakat kelas bawah. Perpustakaan umum yang semestinya menjadi benteng terakhir literasi justru banyak yang mati suri, entah karena koleksinya ketinggalan zaman, atau karena tak ada pustakawan yang benar-benar peduli. Di sisi lain, kurikulum pendidikan kita terus berganti, tapi tak juga berhasil menjadikan membaca sebagai napas utama proses belajar.
Hari Buku Nasional tahun ini semestinya menjadi peringatan, bahwa kita sedang kehilangan orientasi. Tujuan utama perayaan ini bukan untuk membuat kita merasa baik satu hari, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tanpa budaya baca yang kuat, bangsa ini hanya akan menjadi pasar dari pengetahuan orang lain, bukan penghasilnya.
Jadi apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, pemerintah harus serius mendanai program literasi, bukan hanya membuat kampanye musiman. Kedua, sekolah dan guru harus menjadi agen pembaca, bukan sekadar pengajar. Ketiga, orang tua perlu menjadikan rumah sebagai tempat pertama di mana anak mengenal buku bukan sebagai beban, tapi sebagai teman. Keempat, kita semua harus berhenti merasa cukup dengan membeli buku. Kita harus membacanya, membicarakannya, dan menghidupkannya dalam tindakan.
Karena pada akhirnya, buku tidak butuh dirayakan. Buku butuh dibaca. Dan bangsa ini butuh pembaca, bukan hanya perayaan.
Writer|| Stanilaus Bandut|| Red
