Opini, bokstoday.my.id- Belakangan ini, lini masa media sosial kembali ramai dengan perbincangan soal ijazah Presiden Joko Widodo. Isu ini seolah tak ada habisnya, datang dan pergi seperti gelombang, dan kini bahkan disebut-sebut sudah masuk ke ranah hukum. Tapi mari kita tanya dengan jujur pada diri sendiri, benarkah ini masih perlu jadi bahan perdebatan?
Kita bicara soal seseorang yang telah dua kali dipilih langsung oleh rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini. Bukan satu, tapi dua periode. Itu bukan hal kecil. Artinya, sebagian besar rakyat menaruh kepercayaan pada sosok Jokowi, baik dari latar belakangnya yang sederhana, gaya kepemimpinannya yang membumi, hingga kinerjanya yang terasa di banyak sektor.
Mungkin Anda Suka: Ketika Teknologi Meninggi, Tata Krama Merendah
Apa yang sebenarnya dicari dari isu ijazah ini? Apakah sebatas ingin menggugat legalitas, atau justru sekadar mencari celah untuk menyerang pribadi? Kalau bicara soal kemampuan dan kapabilitas, bukankah kita sudah menyaksikannya selama lebih dari sepuluh tahun terakhir?
Jokowi bukan presiden yang hanya duduk di balik meja. Ia turun langsung ke lapangan, meresmikan proyek, mengecek progres pembangunan, bahkan tak jarang blusukan ke tempat-tempat yang jarang tersorot media.
Di bawah pemerintahannya, jalan tol dibangun masif, konektivitas antar wilayah diperkuat, desa-desa yang dulu terisolasi kini mulai terhubung. Belum lagi program-program pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang diperluas jangkauannya.
Apakah semua itu bisa dicapai jika ia tidak memiliki kemampuan sebagai pemimpin? Rasanya sulit dibantah. Kita tentu bisa berbeda pandangan soal kebijakan-kebijakannya, dan itu sehat dalam demokrasi. Tapi mempertanyakan kembali hal mendasar seperti keaslian ijazah, setelah hampir satu dekade beliau menjabat, terasa tidak pada tempatnya.
Isu seperti ini cenderung menguras energi publik untuk memperdebatkan hal yang tidak lagi substansial. Sementara itu, kita justru abai terhadap persoalan-persoalan nyata yang lebih butuh perhatian: ketimpangan ekonomi, pengangguran, kualitas pendidikan, dan sebagainya.
Energi bangsa semestinya difokuskan untuk hal-hal yang membangun, bukan untuk terus-menerus menoleh ke belakang dan mempersoalkan sesuatu yang belum tentu ada dasarnya.
Kalau memang ada dugaan serius, serahkan saja pada mekanisme hukum yang berlaku. Negara ini punya sistem dan institusi yang bisa menanganinya. Tapi jangan sampai kita terjebak pada polarisasi tak produktif, apalagi jika itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Kita butuh lebih banyak diskusi kritis yang membahas masa depan bangsa, bukan terus-menerus mengaduk isu lama yang tak pernah selesai. Jokowi mungkin tidak sempurna tak ada pemimpin yang sempurna. Tapi mari kita adil, nilai seorang pemimpin bukan semata dari selembar ijazah, tapi dari jejak langkah dan dampak nyata yang ia tinggalkan untuk rakyatnya.
Writer|| Stanilaus Bandut|| Red
