Malam itu hujan turun malu-malu di atas genteng kosanku. Aku sedang menyusun slide presentasi yang belum jadi-jadi ketika ponselku bergetar.
“Buka gerbang, aku udah di depan.”
Pengirimnya adalah Dira. Cewek paling misterius di jurusan. Senior satu angkatan yang entah kenapa akhir-akhir ini rajin ngajak ngobrol.
Aku langsung berdiri, setengah gugup, setengah bingung.
“Maksud kamu... kosan gue?”
“Ya iya lah. Masa kosan Pak RT.”
Tiga menit kemudian aku membukakan pintu pagar kos. Di sana dia berdiri, payung ungu, jaket almamater, dan sebungkus nasi goreng.
“Lo belum makan kan?” katanya datar.
Aku mengangguk, terhipnotis.
“Gue enggak masak buat sembarang orang, tau.”
Kami masuk ke kamar kos yang sempit. Satu kasur, satu meja, satu kipas angin. Dia duduk duluan, menyendok nasi, lalu menyerahkan setengahnya ke piring kosongku.
Kami makan sambil ngobrol. Tentang skripsi, tentang dosen killer, tentang kenapa Indomie goreng lebih cocok dimakan pas hujan.
Jam menunjukkan 00.21. Dira berdiri, merapikan jaket.
“Gue nginep sini aja ya malam ini. Enggak enak pulang hujan-hujan.”
“Hah? Tapi... kasur cuma satu, Dir.”
“Lo pikir gue mau tidur di lantai?” katanya sambil senyum mengejek.
Akhirnya kami tidur bersebelahan. Jaga jarak dua bantal. Tapi tetap saja jantungku berisik sendiri.
Beberapa menit kemudian dia berbisik:
“Kosan lo dingin ya.”
“Biasa, AC alami,” jawabku.
“Mungkin... butuh sedikit kehangatan.” katanya sambil menarik selimut ke tengah.
Aku menoleh. Dia menatapku sebentar.
“Ssst. Jangan GR. Ini demi hemat selimut aja.”
Aku tertawa kecil. Malam itu, aku tidur dengan rasa yang campur aduk.
Paginya, aku terbangun karena bunyi grup WhatsApp kelas. Kutoleh ke sebelah, kosong. Tapi anehnya, di meja belajar ada secarik kertas bertuliskan.
“Lo enggak mimpi. Tapi jangan tanya-tanya dulu. Nanti kalau waktunya pas, gue jelasin. Dira.”
Dan sejak hari itu, aku jadi rajin nyuci seprai. Siapa tahu, Dira datang lagi.
Writer|| Stanislaus Bandut || Red
