Opini, bokstoday.my.id- Di era modern yang serba cepat ini, kita sering berbicara tentang pentingnya pendidikan, kemajuan teknologi dalam pembelajaran, atau perubahan kurikulum nasional. Namun, ada satu persoalan mendasar yang masih saja terjadi, anak-anak usia sekolah, bahkan yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), masih banyak yang belum bisa membaca dengan lancar. Sebagian bahkan masih kesulitan menulis kalimat sederhana.
Saat mendengar hal ini, reaksi sebagian besar masyarakat biasanya cepat, menyalahkan sekolah. Guru dianggap tidak maksimal, kurikulum dianggap terlalu berat, atau fasilitas pendidikan dianggap kurang memadai. Namun, benarkah semua ini bisa dibebankan hanya kepada sekolah?
Pendidikan Dimulai dari Rumah
Sebelum seorang anak mengenal guru, kelas, atau buku pelajaran, mereka terlebih dahulu mengenal orang tua. Rumah adalah tempat pendidikan pertama dan orang tua adalah guru pertama bagi anak. Di sanalah anak belajar berbicara, mengenali huruf, dan mendengarkan cerita. Di sanalah seharusnya proses awal membaca dan menulis diperkenalkan.
Mungkin Anda Suka: Dari Lumbung ke Kampus, Wuat Wa’i sebagai Simbol Investasi Sosial
Sayangnya, kesadaran ini belum menjadi budaya di banyak keluarga. Banyak orang tua yang berpikir bahwa ketika anak sudah bersekolah, maka tugas mereka dalam mendidik anak selesai. Mereka menyerahkan sepenuhnya proses belajar kepada guru, padahal waktu anak di sekolah hanya beberapa jam dalam sehari. Sisa waktunya? Dihabiskan di rumah.
Di sinilah peran orang tua menjadi sangat penting. Membacakan buku sebelum tidur, menyediakan waktu untuk belajar bersama, atau sekadar mendampingi anak menyalin tulisan itu semua adalah bentuk perhatian yang berdampak besar pada perkembangan literasi anak. Hal-hal kecil seperti ini, jika dilakukan secara rutin, akan membentuk dasar kemampuan membaca dan menulis yang kuat.
Ilustrasi Nyata: Ketika Dinding Rumah Menjadi Papan Tulis Kami
Saya masih sangat ingat bagaimana dulu mama mengajari kami membaca. Kami tidak punya buku bacaan yang lengkap, tidak punya papan tulis, bahkan tidak punya meja belajar yang layak. Tapi mama tidak kehabisan akal. Beliau mengambil kunsem ghaju atau arang dari kayu bekas pembakaran dan mulai menulis huruf demi huruf di dinding rumah kami yang sederhana.
Mama mengeja satu per satu:
"A… A… ini A."
"B… ini B."
Kami mengikuti dengan pelan-pelan. Kakak-kakak saya juga diajar dengan cara yang sama. Dinding rumah kami penuh dengan coretan arang, tapi di situlah kami belajar. Bukan dari kemewahan fasilitas, tapi dari ketulusan dan kesabaran orang tua kami.
Metode mama mungkin terlihat sederhana, bahkan kuno. Tapi dari situ, kami mulai bisa membaca sedikit demi sedikit. Dan yang lebih penting, kami merasa bahwa belajar itu menyenangkan karena dilakukan bersama orang tua yang peduli.
Bukan Soal Bisa atau Tidak, Tapi Mau atau Tidak
Banyak orang tua yang merasa tidak percaya diri untuk membantu anak belajar karena merasa tidak berpendidikan tinggi. Padahal, membantu anak belajar membaca dan menulis tidak memerlukan gelar sarjana. Yang dibutuhkan adalah keinginan, waktu, dan kepedulian. Tidak harus dengan metode rumit, cukup dengan kebiasaan sederhana yang konsisten.
Sebagai contoh, anak yang sering dibacakan cerita sejak kecil biasanya lebih cepat memahami makna kata dan memiliki kosakata yang lebih kaya. Anak yang sering diajak berbicara dan menulis hal-hal sederhana akan lebih terbiasa menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Kemampuan ini tidak datang tiba-tiba saat anak masuk sekolah. Ini dibentuk perlahan, dimulai dari rumah.
Peran Sekolah dan Guru Masih Penting, Tapi Bukan Satu-satunya
Tentu saja kita tidak bisa menafikan peran sekolah. Guru adalah sosok penting yang memiliki ilmu dan strategi mengajar yang terarah. Tapi guru bukanlah tukang sulap. Mereka tidak bisa membentuk anak-anak menjadi pembelajar aktif hanya dalam waktu terbatas setiap hari. Jika anak datang ke sekolah tanpa dasar kemampuan membaca dan menulis, maka guru akan menghabiskan waktu mengejar ketertinggalan dasar itu alih-alih fokus pada materi pelajaran yang seharusnya.
Oleh karena itu, kolaborasi antara orang tua dan sekolah sangat diperlukan. Sekolah bisa membuka ruang komunikasi yang baik dengan orang tua. Orang tua pun harus terbuka menerima masukan dan aktif mencari tahu perkembangan belajar anak. Ketika komunikasi dua arah ini terbangun, maka anak akan mendapatkan dukungan yang seimbang dari rumah dan sekolah.
Membangun Budaya Literasi Dimulai dari Kita
Fenomena lemahnya kemampuan membaca dan menulis di kalangan pelajar seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Bahwa masih ada yang perlu diperbaiki dari sistem kita bukan hanya dari segi pendidikan formal, tetapi juga dari kesadaran kolektif sebagai orang tua, keluarga, dan masyarakat.
Membangun budaya literasi tidak bisa dilakukan hanya oleh guru di kelas. Ia harus hidup di rumah, di lingkungan sekitar, bahkan di ruang-ruang publik. Dan yang paling penting harus dimulai dari kesadaran bahwa anak-anak tidak lahir dengan kemampuan membaca dan menulis secara otomatis. Mereka belajar melalui contoh, melalui kebiasaan, dan melalui dukungan dari orang-orang terdekat mereka.
Jadi, membaca dan menulis itu tanggung jawab siapa?
Jawabannya adalah tanggung jawab kita semua. Tapi terutama orang tua. Karena sebelum guru membuka buku pelajaran, orang tua seharusnya sudah membuka pintu-pintu literasi di rumah. Jika kita ingin anak-anak tumbuh menjadi generasi yang cerdas, mandiri, dan siap menghadapi tantangan zaman, maka mari kita mulai dari hal yang paling dasar ajarkan mereka membaca dan menulis, dimulai dari rumah, dimulai dari sekarang.
Writer|| Stanislaus Bandut|| Red
