......Mari Kita Ceritanya......
Minggu pagi, seperti biasa, istriku menyeduh teh sambil menyenandungkan lagu lama yang tak pernah kulupa. Rumah mungil kami di ujung gang dipenuhi aroma pandan dari kue buatannya. Ia mengenakan daster biru favoritku.
"Aku suka pagi seperti ini," kataku, menyentuh tangannya yang dingin.
"Aku juga," jawabnya lembut, tanpa menatapku.
"Tapi kita harus bicara."tambahnya.
Aku menatapnya lekat-lekat. Kerut di sudut matanya makin dalam.
“Tentang apa?”balasku.
Ia menarik napas panjang.
“Tentang kita. Tentang kenyataan.”
Aku terdiam. Jantungku berdetak aneh.
"Sudah lima tahun, Mas. Kamu harus merelakan."jawabnya dengan nada sedih.
"Apa maksudmu?" tanyaku, bingung.
Ia berdiri, berjalan pelan ke arah rak foto. Mengambil bingkai yang tertutup kain putih. Ia menyodorkannya padaku.Aku membuka kain itudan melihat potret dirinya, tersenyum, dengan tanggal wafat terukir di bawah namanya.
Aku terpaku.
"Setiap Minggu pagi, kamu datang ke dunia mimpi hanya untuk bersama aku. Kamu harus bangun."
Air mata menetes dari mataku, dan untuk pertama kalinya, aku sadar, teh di cangkirku tak pernah hangat. Kue-kue itu tak pernah benar-benar bisa kucicipi.
Dan saat aku terbangun di dunia nyata yang dingin dan sepi aku tahu, cinta sejati memang tak pernah pergi, tapi kadang ia hanya hidup dalam kenangan.
Writer|| Stanilaus Bandut|| Red
