Ada satu kalimat yang kini terus menggema di dalam hati saya. Kalimat yang sederhana, tapi memiliki kedalaman makna yang tak terhingga:
"Jaga dia-dia ba weki kaeng tana lino." yang artinya ( Menjaga perilaku baik selama masih hidup di dunia.)
Kalimat itu bukan kutipan dari buku suci atau pepatah kuno. Itu adalah pesan terakhir Ayah saya sebelum ia pergi untuk selamanya. Sebuah kalimat yang lahir dari bibir yang sudah mulai melemah, dari tubuh yang telah lama menanggung sakit, namun dari jiwa yang tetap kuat dan penuh kasih.
Saya ingin menulis ini bukan hanya sebagai pelipur lara, tapi sebagai bentuk penghormatan. Sebagai upaya saya menjaga warisan Bapak, bukan harta, bukan gelar, tetapi nilai-nilai hidup yang begitu bermakna.
Mari Kita masuk Inilah Ceritannya?
14 Oktober 2024, Ayah saya menjalani operasi prostat. Di usia senjanya, ia tetap kuat menghadapi segala proses medis yang melelahkan. Saya ingat saat menunggu di luar ruang operasi, dada saya sesak oleh rasa cemas. Tapi saat operasi selesai, dan Ayah bisa tersenyum kepada saya, seolah semua kecemasan itu sirna. Kami semua berharap itu adalah awal dari kesembuhan.
Namun harapan itu tak berjalan semulus doa. Tiga bulan pasca operasi, Ayah mulai sering mengeluh. Nafsu makannya menurun, pinggangnya terasa nyeri luar biasa, dan yang paling membuat kami panik, urin bercampur darah. Ada sesuatu yang tak beres. Hati saya gelisah, tapi Ayah tetap tegar, meski sorot matanya mulai kehilangan sinar.
Saya membawanya kembali ke dokter yang dulu mengoperasinya. Di ruangan itu, waktu seakan berhenti. Dokter menatap kami dalam diam sebelum akhirnya berkata:
"Bapak terkena kanker prostat ganas." Kata dokter.
Saya terpukul. Dunia seperti berhenti berputar. Mata saya mulai basah. Namun saat saya menoleh ke Bapak, ia tersenyum tipis, menahan tangis.
"Jangan bersedih, ini hanya penyakit biasa," katanya.
Kalimat itu terdengar seperti candaan, tapi saya tahu, itu bukan untuk membuat dirinya tenang itu untuk membuat saya kuat. Di tengah rasa sakit yang tak tertanggungkan, Ayah justru memikirkan perasaan saya. Ia tidak ingin saya hancur oleh kenyataan pahit.
Dan sejak hari itu, saya benar-benar melihat siapa Ayah saya sesungguhnya. Seorang lelaki yang tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga luar biasa dalam jiwanya.
Hari-hari setelah vonis itu adalah perjalanan panjang menuju akhir. Tapi Ayah tak pernah ingin disebut sedang "menunggu ajal". Ia tetap bangun setiap pagi, tetap menyapa tetangga, tetap mengusap kepala cucu-cucunya, meski tubuhnya makin lemah.
Saya menjadi saksi dari perjuangan paling sunyi perjuangan melawan sakit yang tak terlihat tapi sangat menyiksa. Dan yang paling menyentuh, Ayah tak pernah meminta belas kasihan. Yang ia minta hanya satu:
"Onto ke lupi Aku, ganda-ganda keng ngong olo d" yang artinya Duduklah di dekat saya, kita ngobrol seperti dulu.”
Hingga akhirnya, 19 Maret 2025, pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Udara seperti menahan napasnya, dan langit tampak lebih sendu dari biasanya. Ayah memanggil kami satu per satu: Mama, saya, adik perempuan saya, dan adik ipar saya. Kami adalah orang-orang yang selama ini selalu berada di sampingnya.
Kami duduk melingkar di dekat tempat tidurnya. Tak ada suara selain detak jam dinding dan napas Ayah yang mulai berat. Tapi sorot matanya tetap hidup, hangat, jernih, dan penuh kasih. Ia menatap kami satu per satu, seolah sedang menyimpan wajah kami di sudut paling dalam hatinya.
Dengan suara yang pelan namun penuh keteguhan, ia berkata,
"Jaga dia-dia weki, dia-dia kaeng sama tau, neka pusu tau" yang artinya Jaga diri kalian baik-baik, Jaga hubungan kalian satu sama lain. Jangan saling menyakiti. Dan yang paling penting..."
Ia berhenti sejenak. Lalu dengan mata yang mulai berkaca-kaca dan suara nyaris tak terdengar, Ayah berkata.
"Jaga dia-dia ba weki kaeng tana lino.." yang berarti menjaga perilaku baik selama masih hidup di dunia.
Itulah kalimat terakhirnya.
Kalimat itu seperti sebuah wasiat. Bukan hanya nasihat untuk saya, tapi untuk kami semua. Dan dalam diam, kami tahu, cinta Ayah tidak pernah setengah. Bahkan di ambang kematiannya, ia masih memikirkan bagaimana kami hidup setelah ia pergi.
Tak lama setelah itu, Ayah menutup matanya. Napasnya perlahan melemah, seperti ombak yang tenang kembali ke samudra. Dan di situlah, kami menyaksikan kepergian paling agung yang pernah kami alami, kepergian seorang Ayah, seorang suami, dan seorang manusia yang hidup dengan keberanian, dan wafat dengan keikhlasan.
"Dia-dia ba weki kaeng Tana Lino" Saya ulang-ulang kalimat ini setiap hari. Saya merenungkannya di tengah malam, saat hati terasa kosong. Saya membawanya ke mana pun saya melangkah. Karena saya tahu, pesan Ayah bukan hanya untuk saya. Itu adalah warisan untuk siapa pun yang ingin hidup dengan bermartabat.
Inilah pesan yang sebenarnya disampaikan penulis?
“Jaga dia-dia”: Ini bukan hanya tentang sopan santun. Ini tentang menjadi manusia yang utuh. Tentang menjaga tutur kata, perilaku, niat, dan sikap baik saat disaksikan orang lain, maupun saat hanya Tuhan yang melihat.
“Ba weki”: Ayah saya tahu saya bukan manusia sempurna. Tapi beliau tidak meminta kesempurnaan. Beliau hanya ingin saya terus berusaha menjadi lebih baik, sesuai kemampuan saya, dengan ketulusan.
“Kaeng tana lino”: Inilah bagian paling menggugah. Hidup ini singkat. Kita bisa pergi kapan saja. Maka selagi masih diberi napas, mari manfaatkan untuk kebaikan. Bukan untuk membenci, bukan untuk merugikan, tapi untuk menyentuh hidup orang lain dengan kasih dan kebijaksanaan.
Saya juga ingin orang lain tahu bahwa dari seorang Ayah yang sederhana, yang pernah merasakan sakit luar biasa, saya belajar tentang kekuatan, tentang keberanian, dan tentang cinta yang paling murni:
Cinta yang ingin melihat orang lain tetap hidup dalam kebaikan, bahkan saat dirinya sendiri akan mati.
Catatan: Kisah diatas berdasarkan Kisah Nyata Penulis.
Writer|| Stanislaus Bandut|| Red

sangat sedih ceritanya
BalasHapus