Pendahuluan
Ensiklik Vix Pervenit merupakan sebuah ensiklik yang dikeluarkakn sercara resmi oleh Paus Benediktus XIV pada tanggal 1 November 1745. Ensiklik ini mengenai bunga uang dan keuntungan yang tidak jujur. Ensiklik Vix Pervenit hampir tidak lari jauh dengan praktik-praktik yang terjadi di Indonesia.
Permasalah korupsi yang terjadi di Indonesia sangat mengganggu proses peredaran uang baik dari pemerintah kepada masyarakat, pemerintah sesama pemerintah, masyarakat ke pemerintah, maupun sesama masyarakat.
Masalah korupsi telah terjadi sejak zaman penjajahan hingga zaman sekarang ini. Korupsi sudah menjadi kebiasaan yang tertanam dalam diri orang tertentu. Praktik korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial mengakibatkan kemerosotan, kemiskinan dan penderitaan dalam masyarakat.
Korupsi merupakan masalah sosial yang merusak moral kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peningkatan masalah korupsi di Indonesia menyebabkan bertambahnya masalah kemiskinan.
Paus Fransiskus menyebut korupsi sebagai “tumor atau kanker sosial. Menurutnya, tindakan atau perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para elit atau para penguasa merupakan dosa individual dari para penguasa itu sendiri, sehingga menjadi tumor yang akan menyebar ke seluruh tubuh sosial masyarakat.
Pernyataan Paus Fransiskus ini menegaskan, bahwa kejahatan korupsi itu merupakan absolutisasi dimensi imanen hidup manusia.
Pengertian Ensiklik Vix Pervenit.
Ensiklik Vix Pervenit merupakan ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XIV pada tanggal 1 November 1745 . Ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XIV ini secara resmi mengutuk keras bagi pihak-pihak yang melakukan praktik-praktik terselubung dalam suatu tempat tertentu.
Tindakan ini tentu merugikan manusia itu sendiri dan menjadi persoalan yang cukup sulit diselesaikan. Ensiklik Vix Pervenit yang dikeluarkan secara resmi oleh Paus Benediktus XIV, untuk melarang manusia agar tidak melakukan praktik-praktik yang merugikan pihak lain. Ensiklik ini mengatur tentang ajaran-ajaran Gereja yang berasal dari zaman konsili-konsili ekumenikal.
Paus Benediktus XIV mengeluarkan ensiklik ini karena banyak pemerintah zaman itu tidak menghargai uang sebagai sebuah masukan yang produktif. Tentu tindakan yang dilakukan para pemerintahan waktu itu menimbulkan konflik dengan para kapitalisme. yang pertama, di waktu ketika filosofi akademis (yang tidak menghargai uang sebagai sebuah masukan produktif) semakin berkonflik dengan kapitalisme.
Seiring berjalannya waktu ensiklik ini perlahan-lahan memudar sejalan Gereja Katolik Roma perlahan mundur dari sikapnya yang secara aktif menekankan ajaran-ajaran sosialnya ke dalam dunia finansial. Sehingga, praktik-praktik yang menggenakan bunga pada pinjaman hampir menjadi suatu hal yang diterima oleh banyak pihak, baik secara legal maupun secara etis.
Pengertian Korupsi di Indonesia
Dalam Encylopaedia Americana, korupsi dijelaskan sebagai suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam arti, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa. Tindakan pembusukan, buruk, atau penggelapan (penyelewengan) yang sering terjadi merupakan tindakan yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status yang menyangkut pribadi, keluarga mau pun pada kelompok-kelompok tertentu, dan telah melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh negara.
Korupsi adalah persoalan yang terlibat penyuapan atau penggelapan jabatan dan melanggar hukum, memperkaya diri sendiri, dan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan pada pundak pemerintah oleh masyarakat, karena mereka mempermainkan atau memanipulasi kepercayaan tersebut.
Akar utama masalah korupsi ini adalah hilangnya kepercayaan dalam diri, sehingga melakukan sesuatu dengan bebas tanpa mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Korupsi di Indonesia semakin tahun semakin meningkat atau bertambah. Sebab, dari hal ini adalah kurang adanya perhatian dan kejelian pemerintah dalam menangani masalah korupsi tersebut. Pelaku korupsi pun semakin bebas dalam melakukan hal-hal yang tidak patut dan merugikan masyarakat dan negara.
Simon Butt, mengutip Emerson, menyebut Indonesia sebagai negara paling demokratis sekaligus paling korup di Asia. Fenomena tersebut menjadi persoalan yang sangat serius, sebab pada saat yang bersamaan kita menghadapi realitas budaya hukum yang belum sepenuhnya dapat diandalkan membantu mengatasi persoalan korupsi.
Sementara itu, budaya politik yang mestinya dapat menjalankan fungsi sebagai instrumen penangkal korupsi belum menunjukkan sosoknya, maka akibatnya upaya pemberantasan korupsi semakin tidak mudah dilakukan.
Ensiklik Vix Pervenit dan Permasalahan Korupsi di Indonesia
Ensiklik Vix Pervenit mengatur ajaran-ajaran Gereja yang berasal dari zaman konsili ekumenikal, terlebih di waktu ketika yang tidak menghargai uang sebagai sebuah masukan produktif yang semakin berkonflik dengan kaum kapitalisme.
Dengan resminya konsili Vix Pervenit ini, Gereja harus mangambil posisi yang meyakinkan dalam mengajar dan mengajak umat manusia terkait dengan hadirnya ensiklik ini. Berhadapan dengan polemik korupsi yang terjadi di Indonesia, Gereja harus mampu mewujudkan diri dalam bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi permasalah korupsi.
Dalam menghadapi dan melawan pendapat, pandangan, dan sistem yang tidak dapat diterima oleh Gereja, Gereja harus perlu mengembangkan ajaran imannya lebih lanjut agar pemahaman iman tidak terus-menerus menjadi sebuh polemik yang berkepanjangan.
Kehadiran ensiklik Vix Pervenit berhubungan erat dengan permasalahan korupsi di Indonesia. Permasalahan korupsi di Indonesia selalu melibatkan pengkhianatan atas kepercayaan yang telah diberikan publik, baik publik rakyat ataupun publik organisasi.
Tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah ataupun non pemerintah bukan seratus persen (100%) bersih, mulus atau murni, melainkan lebih cenderung kepada praktik-praktik yang menguntungkan diri sendiri, keluarga, kelompok maupun organisasi tertentu.
Dalam mengatasi persoalan ini tentu melibatkan lembaga keagamaan seperti Gereja. Gereja merupakan lembaga keagamaan yang sakral, sehingga kegiatannya menunjukkan diri sebagai lembaga suci yang memiliki standar moral yang tinggi melebihi organisasi duniawi pada umumnya.
Gereja seharusnya menunjukkan perannya dalam menekan angka korupsi, karena korupsi tidak sesuai dengan Firman Tuhan yang merupakan landasan kehidupan gereja seperti tertera, “Jangan mencuri,” dan, “Jangan mengingini apa pun yang dipunyai sesamamu.” (Keluaran 20: 15, 17). Ayat tersebut merupakan bagian dari Sepuluh Perintah Allah. Namun dalam kenyataannya, aktivitas dan perilaku kehidupan dalam Gereja sering menunjukkan hal yang sebaliknya.
Kesimpulan
Ensiklik Vix Pervenit yang secara resmi dikeluarkan oleh Paus Benediktus XIV pada tanggal 1 November 1745 mengutuk keras bagi mereka yang melakukan praktik-praktik terselubung dan mengganggu proses peredaran pinjaman uang. Hal ini serupa dengan masalah korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia mungkin tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan realitas yang terjadi, korupsi di Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa. Namun, ironisnya pemerintah masa bodoh dan membiarkan perilaku korup bertumbuh subur pada semua bidang kehidupan. Pemerintah di Indonesia sangat sulit untuk mencegah atau memberantas korupsi.
Resminya ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XIV pada tanggal 1 November 1745, setidaknya dapat memberi peringatan bagi pelaku korupsi. Apalagi korupsi di Indonesia sudah menjadi seperti penyakit atau patologi yang sudah menyebar dan dapat membahayakan bagi kelangsungan pembangunan di negara Indonesia.
Penyakit ini telah berakar dalam diri masyarakat negara Indonesia. Jika seandainya penyakit ini telah diobat sejak dulu, maka sangatlah mungkin tindakan akibat dari penyakit sosial ini tidak membengkak atau berakar. Tidaklah heran paus Fransiskus mengatakan bahwa korupsi adalah sebuah masalah sosial atau tumor sosial yang menjangkit dalam kehidupan manusia.
