Opini, bokstoday.my.id-Perkembangan dunia teknologi yang semakin pesat telah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan manusia. Dari cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, hingga bersosialisasi semuanya kini mengalami transformasi drastis yang tak terbendung. Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi, kita juga dihadapkan pada sebuah kenyataan yang memprihatinkan menurunnya moralitas dan tata krama, khususnya di kalangan generasi muda.
Mungkin Anda Suka: Membaca dan Menulis, Tanggung Jawab Siapa Sebenarnya?
Sikap ramah tamah, saling menghargai, dan sopan santun yang dahulu menjadi ciri khas budaya kita, kini seolah-olah hanya tinggal teori dalam buku pelajaran atau slogan-slogan motivasi. Ironisnya, meskipun pengetahuan tentang nilai-nilai itu masih diajarkan di sekolah dan disampaikan dalam berbagai kampanye, dampaknya terhadap perilaku nyata para remaja dan anak muda tampak semakin memudar.
Media sosial yang sejatinya diciptakan untuk mempererat hubungan antarmanusia kini justru sering menjadi ladang subur bagi ujaran kebencian, perundungan digital, dan perilaku kasar yang tak terkontrol.
Banyak anak muda lebih fasih menggunakan emotikon daripada menyapa langsung dengan senyum dan tatapan hormat. Mereka lebih tertarik pada popularitas virtual daripada membangun relasi nyata yang penuh empati dan saling pengertian.
Di dunia digital, batas antara sopan dan tidak sopan menjadi kabur. Remaja bisa dengan mudah mengomentari siapa saja tanpa berpikir panjang. Rasa hormat kepada orang tua, guru, bahkan teman sebaya pun semakin luntur, digantikan dengan sikap sarkastik dan egoisme yang kian menonjol. Dunia virtual mengaburkan nilai-nilai sosial yang selama ini dijunjung tinggi.
Namun tentu, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan teknologi. Ia adalah alat; yang menentukan dampaknya adalah cara kita menggunakannya. Oleh karena itu, yang kita butuhkan bukan sekadar literasi digital, tetapi juga literasi moral kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan benar di tengah derasnya arus informasi. Orang tua, pendidik, dan masyarakat harus lebih aktif menjadi teladan serta menciptakan ruang-ruang pembelajaran nilai yang relevan dengan zaman.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa kemajuan teknologi seharusnya berjalan seiring dengan kemajuan moral. Tidak ada gunanya generasi yang cerdas secara digital jika miskin empati dan adab. Masa depan bangsa tak hanya ditentukan oleh seberapa cepat koneksi internetnya, tapi juga seberapa kuat karakter generasi penerusnya.
Peringatan yang disampaikan oleh Kardinal Ignatius Suharyo dalam konferensi pers baru-baru ini patut kita renungkan bersama:
Martabat manusia yang semakin lama semakin jelas tidak dihormati. Teknologi dihormati, uang dihormati, tetapi martabat manusia tidak dihormati.
Ungkapan ini menjadi cermin tajam bagi kita semua. Teknologi dan materi memang penting, tetapi keduanya tidak boleh menggeser nilai hakiki dari kemanusiaan itu sendiri.
Kini saatnya kita bertanya, apa gunanya generasi yang akrab dengan kecerdasan buatan, jika kehilangan kecerdasan hati?
Writer|| Stanislaus Bandut|| Red
.png)
MANTAP
BalasHapus